Kata Siapa Mereka Gila?

Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran

“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia.”

Itulah kata Bunda di film Rectoverso, soal Abang si anak sulungnya yang difabel (different ability).

Tak banyak di antara kita yang bisa bicara seperti Bunda, menganggap bahwa dia berbeda dan bukannya gila. Mungkin karena kita memang tak seperti Bunda, lama tinggal bersama dia. Tetapi, mungkin juga karena kita sudah terbiasa mematuhi aturan kita, sehingga ini membuat kita jadi resisten terhadap aturan orang-orang seperti dia. Bahkan, secara tidak sadar, kita juga punya macam-macam sebutan buat mereka: gila, sakit jiwa, atau biar agak lebih keren, schizophrenia.

Kenapa mereka dianggap gila? Betulkah orang-orang seperti mereka memang ‘gila’? Bagaimana mulanya sampai mereka dipisahkan dari golongan kita, diberi ‘kotak’ yang berbeda?

Ah, kata ‘berbeda’ rasanya terlalu sopan untuk mewakili bagaimana kecenderungan masyarakat memandang orang-orang macam mereka. Sebab,terlampau sedikit di antara kita yang menganggap mereka demikian. Kebanyakan kita justru melihatnya dengan jijik seperti bertemu sampah, menjadikannya objek cemooh, dan tak jarang pula melabelinya sebagai kaum yang hina.

Perlakuan terhadap orang gila, yang seringkali semena-mena itu, biasanya adalah hasil dari persepsi dan konsepsi masyarakat (dan pemerintah) terhadap kegilaan.  Konsep ini pada akhirnya akan menentukan cara-cara penanganan kegilaan yang dianggap wajar dalam masyarakat tersebut: apakah dibuang, dimasukkan rumah sakit jiwa, disembuhkan, dan sebagainya.

Nah, dalam sejarahnya, konsep kegilaan rupanya dipahami secara berbeda oleh masyarakat di berbagai era. Setiap periode punya konsep sendiri mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani. Bahkan, sejak sebelum era renaissance (renaisans), persepsi mengenai orang gila sudah rupa-rupa. Hidup di jaman serbadigital, kita ternyata tinggal menelan asumsi mengenai kegilaan yang sudah terbangun sebelumnya tanpa pernah menanyakan kenapa.

Penyakit Lepra dan Orang Gila di Eropa

Sebelum abad ke-15 (Abad Pertengahan), penyakit lepra merupakan wabah di Eropa. Mereka yang mengidap penyakit tersebut dieksklusikan dari masyarakat umum, ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit terpisah karena begitu kerasnya wabah lepra saat itu. Di seluruh daerah kekristenan, jumlah rumah sakit bagi para penderita lepra bahkan sampai menyentuh angka 19 ribu!

Memasuki abad ke-15, penyakit lepra mulai menghilang. Jumlah penderitanya berkurang, sehingga rumah sakit-rumah sakit khusus lepra pun perlahan-lahan menjadi kosong. Pada abad berikutnya, kantor pendaftaran penyakit lepra terbesar di Paris dialihfungsikan menjadi tempat untuk merehabilitasi anak-anak nakal. Di Inggris, rumah sakit lepra diubah menjadi penampungan orang miskin. Sementara di Jerman, institusi itu diubah untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang gila.

Pada awal abad ke-17, lepra dinyatakan hilang total dari Eropa. Meski seluruh penduduk Eropa bersuka cita, timbul fenomena baru menyusul lenyapnya penyakit tersebut: struktur pengucilan. Mengapa ‘tradisi’ ini masih bertahan, bahkan berlanjut ke era berikutnya, ketika penderita lepra sudah tidak ada?

Tantang pertanyaan itu, dirunutlah jawabannya hingga pada kosmologi gereja Abad Pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci penyelamatan. Menurut keyakinan tersebut, penyakit adalah lambang kemarahan sekaligus anugerah Tuhan. Karena itu, menerima dengan sabar segala penderitaan yang ditimbulkan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya dianggap komuni kepada Tuhan.

Dengan demikian, hilangnya penyakit lepra ini pada dasarnya menciptakan kekosongan objek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja. Nah, ketika penderita lepra tidak lagi ada, siapa sosok yang dapat dikenai nilai-nilai moral itu? Siapa ‘kambing hitam’ berikutnya?

Orang Gila dan Parodi Kritik Sosial

Memasuki era renaisans, orang gila masih diberi ruang gerak bebas dan diperlakukan dengan baik. Dalam sejumlah karya sastra Eropa, seperti Praise of Folly, The Cure of Madnes, dan Ship of Fools, kegilaan justru sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan-pertunjukan drama. Mereka yang dilekati status gila dianggap sebagai figur pembawa kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Dengan segala keanehannya, mereka dianggap sebagai sosok yang tengah mencari rasio. Orang-orang inilah yang malah dipandang memiliki peran penting sebagai penjaga moral dan kebenaran dalam masyarakat. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritik-kritik moral dan sosial, menjungkirbalikkan norma, asumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat. Karena itu, mereka dibiarkan berkeliaran, menjadi simbol kebijaksanaan, serta dicitrakan sebagai kebodohan yang berani menentang supremasi kepintaran rasio.

Hospital Generale

Seiring bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara ‘kebodohan’ dan rasio itu pelan-pelan lenyap. Lalu, pada abad ke-17, terjadilah pergeseran makna dan posisi orang-orang gila. Di Paris, Inggris, Skotlandia, dan Jerman, orang-orang gila hampir secara serentak ditempatkan dalam Hospital Generale: sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya pemerintah. Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah sakit-rumah sakit dialihfungsikan sebagai rumah pengurungan.

Di Paris, Hopital Generale sama sekali tidak terkait dengan suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan adalah murni soal kekuasaan. Hal ini ditunjukkan dengan peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm), organisasi penguasa raja yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat. Melalui penghapusan ini, pemerintah menjadi lebih leluasa dalam menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain.

Di Jerman, sejumlah kota juga mendirikan rumah-rumah pengoreksian (Zuchthausern, semacam Hospital Generale). Bangunan kurungan untuk orang gila ini mirip struktur semipengadilan; ada aparat-aparat administratif yang memiliki kekuasaan mutlak, juga aturan-aturan yang independen di luar peradilan, kehakiman, dan keputusan raja.

Inggris juga memberlakukan sistem serupa. Yang mengerikan, orang-orang gila penghuninya berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi. Akibatnya, mereka sering diperlakukan sewenang-wenang. Hanya dalam waktu singkat, rumah-rumah kerja ini berhasil beranak-pinak jumlahnya, lalu meluas sampai Belanda, Italia, dan Spanyol.

Pertanyaannya: siapakah orang-orang yang dianggap gila di masa itu?

Karena masyarakat industri yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa pada periode tersebut, kriteria ‘kegilaan’ pun kemudian diberikan pula pada mereka yang tidak mampu bekerja. Juga para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi produktif.

Jadilah Hospital Generale sebagai kurungan bagi mereka yang dianggap abnormal dan menyimpang: tunawisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, kaum miskin, orang-orang yang dituduh melanggar hukum dalam masyarakat, anak nakal, pemboros, sampai mereka yang dianggap tidak waras. Semakin lama, penghuni kurungan-kurungan tersebut semakin beragam lagi!

Meski mereka diberikan pekerjaan, Hospital Generale bukanlah suatu jaminan kesejahteraan. Bangunan itu hanyalah disposisi penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, sebab membuat manusia bekerja pada saat itu dipandang para penguasa sebagai ‘kewajiban moral’ mereka. Dengan bekerja, manusia dianggap waras dan berbeda dari binatang. Orang malas, pengemis, dan para pengangguran adalah dimensi kebinantangan manusia yang harus disingkarkan, ditertibkan. Dan atas nama ‘kewajiban moral’ itu pula, penguasa melakukan serangkaian praktik pendisiplinan dan represi fisik terhadap ‘orang-orang gila’ itu. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, dipasung, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja!

Orang Gila dan Disiplin Psikiatri

Memasuki abad 19, kegilaan mengalami pergeseran makna lagi. Mereka yang dianggap gila adalah mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia. Atas ‘penyimpangan’ itu, mereka dimasukkan dalam rumah sakit-rumah sakit jiwa untuk menjalani proses ‘penyembuhan’. Tidak ada lagi represi fisik seperti abad sebelumnya, tidak juga menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Di periode ini, kegilaan ditangani oleh seorang dokter, terapis, atau psikiater untuk disembuhkan secara medis bak sebuah penyakit.

Mekanisme penyembuhannya adalah melalui kesunyian dan penyadaran. Mereka ditempatkan dalam kesunyian agar mampu berbicara, menatap, dan mengoreksi dirinya sendiri seperti dihadapkan pada cermin. Melalui percakapan, terapi mencoba meyakinkan mereka atas status kegilaannya, sehingga mereka akhirnya menyadari bahwa dirinya memang benar-benar gila dan mampu membebaskan diri dari kegilaan tersebut. Sebuah proses yang sebetulnya menghinakan mereka atas status kegilaannya itu!

Lambat laun,  pengetahuan atas terapi ini berkembang dan kemudian diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kini kita kenal sebagai ilmu psikiatri berikut teknik psikoanalisisnya. Disiplin ilmu baru untuk melegitimasi kekuasaan tokoh-tokoh medis tersebut. Padahal, apa yang dilakukan mereka dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosis objektif dan ketat terhadap kegilaan, melainkan observasi dan mempercakapkan kegilaan pada penderitanya. Dalam proses penyembuhannya, ahli psikiatri akan mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas untuk menggantikan unsur-unsur yang dianggap irasionalitas, penyebab kegilaan.

Dan ya, tentu saja, para ahli medis tersebut menjadi otoritas tunggal penentu status kegilaan seseorang. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, diberi akses tak terbatas untuk menciptakan definisi dan kategori kegilaan berikut cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu, mereka lantas menentukan mana yang normal dan mana yang abnormal, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, juga mana yang gila dan mana yang waras. Selanjutnya, mereka merancang mekanisme-mekanisme tertentu, mekanisme yang berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan mereka.

Dengan demikian, pada jaman modern ini (berbeda dengan era klasik), terdapat tiga institusi saling terkait yang dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang: dokter atau ahli medis, disiplin ilmu psikiatri, dan sebuah struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Tiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru kepada orang-orang gila sebagai orang yang berpenyakit jiwa atau berkelainan mental. Fenomena ini kemudiann disebut sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.

Sampai sekarang, disiplin psikiatri masih mengambil peranan yang amat sentral dalam penanganan kegilaan. Sayangnya, ilmu tersebut belum juga menemukan metode penyembuhan yang manjur dan meyakinkan. Bisa jadi (atau bisa dipastikan?), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosis terhadap gejala kegilaan yang dipandang sebagai sebuah penyakit. Padahal, sangat mungkin, gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan mental, atau kegilaan sebetulnya adalah produk dari sistem sosial kita yang fasis dan tak memberi ruang sejengkal pun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya.

Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda ini memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang bisa berakibat fatal. Maka, perlulah kiranya kita untuk terus skeptis terhadap berbagai otoritas di baliknya, mengembangkan sensitivitas dalam melihat kenyataan: apakah suatu sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris? Atau, sebaliknya,hanya konstruksi belaka dari sebuah ‘rezim kebenaran’ yang justru melakukan dehumanisasi?

Tulisan di atas dirangkum dari laman ini. Mengenai referensi asli sejarah kegilaan, baca Madness and Civilization karangan Michel Foucault.